Malam ke duapuluhempat (tanpa kamu)

8/14/2016 09:17:00 PM

Malam ke duapuluhempat (tanpa kamu)

Malam ini, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan bahwa cahaya bintang dihilangkan oleh gelapnya mendung malam. Sama seperti halnya aku, harusnya menerima kenyataan bahwa aku sudah kehilanganmu.

Sejak saat kepergianmu kala itu, aku mulai berdamai dengan keadaan, bersahabat kembali dengan kesendirian, juga berteman akrab dengan yang namanya kehilangan. Malam ini, malam ke duapuluh empat setelah kepergianmu. Masih ada sisa luka yang kamu sayatkan pada hatiku. Menganga, bahkan masih terasa perih yang sama. Aku mencoba mengobatinya dengan orang lain, yang bisa kusebut pelampiasan. Namun nyatanya, luka itu malah begitu menganga. Bukan memberi solusi, malah memberi bayangmu yang pasti. Aku tak mengerti mengapa aku sebegitu terluka kali ini, padahal segala yang ku mulai denganmu tak memakan waktu yang cukup lama, hanya beberapa bulan saja. Tapi jujur saja, dibanding lukaku yang lalu, aku lebih terluka kali ini.


Bisa?

10/10/2015 08:52:00 PM

Bisa?

Kali ini aku menyerah untuk berdiam diri dan menepis segala pertanyaan di hati.

Aku kalah untuk menahan egoismeku sendiri. Aku kalah.

Tentang sebuah perbedaan yang aku sendiri sulit untuk memahami. Dan mungkin, terlalu klasik untuk ditulis disini. Tapi biarlah, setidaknya fikiranku bebas bergerak diantara ruang ruang tulisan ini.

Adakah yang lebih sulit dicerna selain kata berbeda?

Adakah yang lebih sulit dipahami selain diri sendiri?

Pertanyaan itu terus terngiang di fikiranku, seolah otakku penuh, penuh atas segala pertanyaan yang aku sendiri saja tak pernah memahami itu. Dan parahnya, untuk kesekian kalinya aku tak tau harus bertanya pada siapa.


Diam diam.

9/30/2015 08:24:00 PM

Diam diam.

Debarannya masih terasa sama, lebih jelas lagi saat di dekatnya, meski pada nyatanya ada jarak diantara kita. Degupan jantung itu terasa semakin cepat, ditambah lagi kerongkonganku serasa tercekat. Tubuhku kaku, seakan semua membeku. Mulutku keluh untuk mengucapkan sesuatu. Logika dan hatiku seakan beradu, berusaha untuk menjadi nomor satu. Walau pada nyatanya mereka sama sama rapuh.

Terkadang lucu ketika kita memperjuangkan sesuatu. Meski yang ku sebut sesuatu itu bukan milikku. Seperti berdiri dalam sebuah bangunan yang rapuh, tapi kita enggan untuk berpindah dari situ. Sama seperti cinta diam diam. Enggan mengungkapkan tapi masih memperjuangkan. Enggan mengucap rindu tapi hati selalu ingin bertemu. Enggan untuk menyapa walau sering lewat dalam pandangan mata.


Segeralah, bawa aku pulang.

9/30/2015 08:19:00 PM

Segeralah, bawa aku pulang.

Baiknya aku menidurkan diri, karena aku sadar perjalanan masih panjang. Jarak tempuh semarang dari sidoarjo bukanlah jarak yang dekat, aku tau itu, bahkan aku faham. Tapi sayangnya mataku tak terpejam, sedikitpun, meski kutau ini sudah larut malam, sudah selayaknya rasa kantuk itu hinggap diantara perjalanan panjang. Jendela kereta seolah jadi pemandangan, sesekali hamparan luas persawahan, namun terkadang suasana hiruk pikuk keadaan kota disebuah sudut malam. Sesekali kutengok jam, dan baru aku sadar ini jam dua belas malam. Sudah selarut ini kah aku duduk disini? menghabiskan perjalanan sendiri, diselingi dengan lamunan di sebuah pojok deretan kursi kereta api?


Setengah dari hidupku.

9/04/2015 08:03:00 AM

Setengah dari hidupku.

Paras wajahnya memang sudah tak asing lagi. Kedua mata bulatnya, hidung mancungnya, juga kacamata yang menggantung diantara tulang hidungnya. Tulang wajahnya yang tirus, selalu membuatku ingat kata katanya. Dia lelaki yang sempurna bagiku, meski semuanya tau masih banyak kekurangan yang terlihat darinya. Tutur katanya selalu terasa lembut, sikapnya menawan hati, membuat diriku tak ingin membantah semua perkataannya. Meski seringkali aku malah asyik sendiri. 

Iya, asyik dengan duniaku sendiri.

Dia selalu ada dalam hidupku, tak sekalipun aku tak ingat dengannya. Dia adalah lelaki yang selalu membuat pelangi di hidupku. Mewarnai segala ke abu abuanku. Mendampingiku mewarnai kertas putih di halaman selanjutnya. Lelaki berpostur kurus tinggi ini selalu mengajarkanku arti sebuah setia, cinta, juga kesederhanaan. Lebih dari itu masih banyak lagi yang dia ajarkan, hingga tak pernah bisa kujelaskan. 


Menulis masa lalu #4

9/03/2015 12:20:00 AM

Menulis masa lalu #4

Semuanya masih sama, aku terlalu malu untuk mengatakan semuanya. Malah parahnya aku jadi bisu. Bisu tentang hal itu. Aku hanya kembali diam, tak mengatakan apapun. Dan sejak saat itu kami hanya sekedar duduk bersebelahan yang seperti orang asing. Masih mending orang asing, bisa bertutur sapa untuk sekedar kenalan, kita? sama sama seperti orang angkuh yang enggan untuk menyapa, padahal sekarang ini dalam hati ingin sekali mengatakan hal yang sama. Lebih dari itu, aku harus melawan rasa bahagiaku sendiri. Sebuah keadaan yang sebenarnya sederhana, tapi terlalu susah untuk aku mengerti. Meluapkannya pun tak mudah, dan lagi lagi egoismeku yang menang kali ini.


Menulis masa lalu #3

9/02/2015 08:56:00 AM

Menulis masa lalu #3

Pertanyaan itu masih ada, masih sama sejak tadi. Lidahku juga masih terlalu keluh untuk mengatakan pertanyaan itu. Hatiku kali ini menang, dia menang untuk yang kesekian kalinya dari logikaku, dan pada akhirnya sampai sejauh ini aku masih saja terdiam. Diam untuk yang kesekian kalinya. Walau pada nyatanya logikaku lebih kuat menyatakan bahwa dia adalah alex yang dulu, yang pernah ku kenal walau sesingkat tatapan mata.

Sudah berjam jam kami bersama, dengan rongga dada yang masih saja menyesak daritadi, juga dengan sikap yang masih saja kaku. Berkali kali diriku mencoba mejelaskan bahwa semuanya sama seperti dulu, hanya saja tak ada kacamata yang menggantung diantara tulang hidungnya. Iya, alex yang dulu tak berkacamata. Aneh ya rasanya? kita baru saja tak bertemu satu tahun yang lalu, tapi rasanya seperti asing bagiku. Bukan, bukan asing, tapi lebih tepatnya aku takut terlihat asing dimatanya, takut ketika menyapanya nanti ternyata dia tak mengingatku. Sudahlah, mungkin memang bukan saatnya.