Malam ke duapuluhempat (tanpa kamu)

Malam ini, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan bahwa cahaya bintang dihilangkan oleh gelapnya mendung malam. Sama seperti halnya aku, harusnya menerima kenyataan bahwa aku sudah kehilanganmu.

Sejak saat kepergianmu kala itu, aku mulai berdamai dengan keadaan, bersahabat kembali dengan kesendirian, juga berteman akrab dengan yang namanya kehilangan. Malam ini, malam ke duapuluh empat setelah kepergianmu. Masih ada sisa luka yang kamu sayatkan pada hatiku. Menganga, bahkan masih terasa perih yang sama. Aku mencoba mengobatinya dengan orang lain, yang bisa kusebut pelampiasan. Namun nyatanya, luka itu malah begitu menganga. Bukan memberi solusi, malah memberi bayangmu yang pasti. Aku tak mengerti mengapa aku sebegitu terluka kali ini, padahal segala yang ku mulai denganmu tak memakan waktu yang cukup lama, hanya beberapa bulan saja. Tapi jujur saja, dibanding lukaku yang lalu, aku lebih terluka kali ini.

Aroma tanah yang dibasahi oleh rintikannya mulai menyeruak bercampur aroma kopi yang sengaja kubuat untuk mengingatmu. Ah aku ini, bukannya melupakanmu malah membuka kembali ingatan tentangmu. Entahlah aku senang saja membaca chat lama kita yang sengaja tak kuhapus dari hanphoneku, kemudian membuka foto foto yang dulu pernah disebut "kita", mendengarkan kembali rekaman suaramu yang sengaja kau kirim untukku waktu itu. Aku senang saja mengingat semua itu, hingga aku sadar bahwa mendung malam ini tak hanya ada dilangit biru, tapi juga ada dibawah pelupuk mataku.

Malam ini, malam kesekian kali tanpamu, seolah rintikan air langit yang membasahi bumi menjadi isyarat bahwa sudah memang seharusnya aku melupakanmu. Merapikan benda kotak manis yang sering aku sebut sebagai kenangan dalam otakku. Menaruhmu ditempat yang semestinya aku tempatkan. Disudut memori ingatanku. Karena memang harusnya begitu, barangkali sekalian untuk mempersiapkan penghuni hati yang baru, tapi tapi tapi ... Sepertinya tak semudah itu.
Sebenarnya jujur saja, aku masih bertanya tanya alasanmu pergi dengan menggantung sejuta harapan di ruang imajiku. Meninggalkan aku yang masih terbang jauh ke langit biru kala itu. Ibaratnya, aku tak peduli awan mendung asal dengan kamu. Cuih, terlalu lebay sepertinya. Tapi sayangnya, aku tak mendapat jawaban dari segala tanyaku.

Harusnya aku tau, secerah apapun matahari kala itu, cepat atau lambat ia akan menghilang diantara gelapnya malam. Sama seperti halnya kamu, harusnya aku tau, semanis apapun kamu, cepat atau lambat kamu akan hilang termakan waktu. Mungkin untuk kenangan manis tentangmu akan segera kurapikan, bukan dilupakan, karena aku sadar bagaimanapun juga kamu pernah menjadi bagian dari aku yang dulu. Kamu cukup menyisakan rindu, dan diam saja disudut hatiku. Aku tak akan membunuh secuil pun dari bayanganmu. Untuk saat ini aku akan berkawan baik dengan lukaku, memahaminya hingga aku mampu menutup luka yang menganga itu. Untuk kamu? Aku sudah peduli setan denganmu.

Malam keduapuluhempat tanpa kamu, kuakhiri malam ini dengan segala rasa sesak dihati, aku terbunuh rinduku sendiri, tapi untuk malam ini, aku akan berdamai dengan hati.


Bisa?

Kali ini aku menyerah untuk berdiam diri dan menepis segala pertanyaan di hati.
Aku kalah untuk menahan egoismeku sendiri. Aku kalah.
Tentang sebuah perbedaan yang aku sendiri sulit untuk memahami. Dan mungkin, terlalu klasik untuk ditulis disini. Tapi biarlah, setidaknya fikiranku bebas bergerak diantara ruang ruang tulisan ini.

Adakah yang lebih sulit dicerna selain kata berbeda?
Adakah yang lebih sulit dipahami selain diri sendiri?
Pertanyaan itu terus terngiang di fikiranku, seolah otakku penuh, penuh atas segala pertanyaan yang aku sendiri saja tak pernah memahami itu. Dan parahnya, untuk kesekian kalinya aku tak tau harus bertanya pada siapa.

Tentang sebuah perbedaan, masalah klasik yang sering jadi rumit. Bukankah kata orang perbedaan itu indah? Bukankah terkadang perbedaan itu bisa jadi perekat untuk semakin dekat? Aku tau banyak hal di dunia ini yang berbeda, bahkan di tempat aku menulis ini, aku sudah melihat banyak hal yang berbeda disini. Tapi nyatanya perbedaan itu bisa jadi satu, bisa jadi indah, bahkan bisa jadi rindu saat jauh.

Tapi coba tanyakan pada perbedaan yang satu ini. Perbedaan dua keyakinan yang terkadang tak terasa semakin dekat karena satu perasaan. Tentu aku tak perlu menjelaskan lagi apa yang kumaksud dari tulisan ini.
Apa yang indah dari sebuah perbedaan keyakinan? Apa yang indah dari dua orang yang saling jatuh hati tapi berbeda keyakinan diri? Apa yang indah dari dua orang yang mencoba menahan masing masing egoisme diri? Apa yang indah? Sama sama saling menahan perasaan di hati, tak saling mengungkapkan agar tak jadi perpisahan, saling memendam agar tak terlalu jauh membawa perasaan, padahal mereka sadar, bahwa mereka saling punya perasaan yang sama. Bahkan puncak sakitnya ketika mereka mencoba saling menjauh tapi selalu ada jalan untuk tak saling jauh. Sakit bukan? Ketika kita berbeda tapi tak mampu untuk menyatukannya.

Belajar dari adat dan budaya yang berbeda, punya keanekaragaman tapi bisa saling bersama. Lalu bisakah kita seperti itu? Membiasakan diri untuk menjadi satu? Melupakan bahwa kita berbeda, lalu ada satu celah untuk kita bersama, bisa? Bisakah segala rindu yang selama ini terpendam nantinya bisa terurai bersama kamu? Bisakah suatu saat nanti kita melewati segala perdebatan hanya untuk memutuskan sebuah jalan? Aku ke kamu, atau kamu ke aku? Bisa? Rasanya mustahil untuk mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan itu, ketika aku tau hal yang bisa menjembatani segalanya tak bisa menjembatani perbedaan kita.


Diam diam.

Debarannya masih terasa sama, lebih jelas lagi saat di dekatnya, meski pada nyatanya ada jarak diantara kita. Degupan jantung itu terasa semakin cepat, ditambah lagi kerongkonganku serasa tercekat. Tubuhku kaku, seakan semua membeku. Mulutku keluh untuk mengucapkan sesuatu. Logika dan hatiku seakan beradu, berusaha untuk menjadi nomor satu. Walau pada nyatanya mereka sama sama rapuh.

Terkadang lucu ketika kita memperjuangkan sesuatu. Meski yang ku sebut sesuatu itu bukan milikku. Seperti berdiri dalam sebuah bangunan yang rapuh, tapi kita enggan untuk berpindah dari situ. Sama seperti cinta diam diam. Enggan mengungkapkan tapi masih memperjuangkan. Enggan mengucap rindu tapi hati selalu ingin bertemu. Enggan untuk menyapa walau sering lewat dalam pandangan mata.
Berjuang dalam cinta diam diam, seolah seperti kapal berlobang yang menunggu karam secara perlahan. Hanya bisa menatap dari kejauhan, merindu dari perasaan yang terdalam, memeluk dari rapalan doa yang dipanjatkan. Kadang rasanya konyol, ketika dalam jarak sedekat ini aku masih saja diam diam. Diam diam memperhatikan, diam diam pula menikmati senyummu dari kejauhan. Jauh dari dasar nyata, tapi begitu dekat dengan dasar semu. Iya semu.

Ada kalanya aku tertawa senang, melihatmu tertawa lepas dari kejauhan. Adakalanya aku rindu, rindu senyumanmu, meski aku tau aku ini siapamu? Ah itulah cinta diam diam, yang selalu membuatku merasa bahagia walau hanya dalam kejauhan mata.


Segeralah, bawa aku pulang.

Baiknya aku menidurkan diri, karena aku sadar perjalanan masih panjang. Jarak tempuh semarang dari sidoarjo bukanlah jarak yang dekat, aku tau itu, bahkan aku faham. Tapi sayangnya mataku tak terpejam, sedikitpun, meski kutau ini sudah larut malam, sudah selayaknya rasa kantuk itu hinggap diantara perjalanan panjang. Jendela kereta seolah jadi pemandangan, sesekali hamparan luas persawahan, namun terkadang suasana hiruk pikuk keadaan kota disebuah sudut malam. Sesekali kutengok jam, dan baru aku sadar ini jam dua belas malam. Sudah selarut ini kah aku duduk disini? menghabiskan perjalanan sendiri, diselingi dengan lamunan di sebuah pojok deretan kursi kereta api?

Malam itu, langit cerah menampakkan menampakkan keindahannya, turut juga si bulan, berperan menampilkan diri dengan purnamanya, yang sedikit banyak dihiasi bintang bintang disekitarnya. Malam itu, segala seolah mendukung untukku menghabiskan malam perjalanan dengan mata tak terperjam, seolah ingin mengingatkan, bahwa semarang kini jadi satusatunya kota pilihan. Aku juga masih tak habis fikir, bisa sejauh ini dari tempat dimana biasanya aku pulang, rumah. Sedemikian jauh, sedemikian pula aku merindukan segala hal kecil tentangnya, tentang sudut sudut kamar yang mewakili segala perasaan, tentang segala rindu yang terwakilkan dengan segala curhatan, di sebuah pojokan kamar. Juga tentang segala hal yang selalu membuat kenangan.

Bahkan puncaknya, ketika wanita itu melepasku dengan sebuah ciuman, dengan salam yang selalu ada dalam ingatan, dengan pesan yang hingga kini masih saja terngiang. Rasanya hancur, ada penyesalan dengan sebuah keputusan yang kuambil kali ini, bukan tak mengerti, tapi rasanya ini sebuah tuntutan diri. Sudahlah. Batinku yang sedari tadi berkecamuk, kini mencoba berdamai, menenangkan diri, walau rasanya mustahil jika aku bisa berdamai dengan semua ini. Bukan apa-apa, tapi aku hanya takut saja wanita itu kenapa kenapa, karena jujur saja dia sangat berharga.

Malam itu, langit, bulan, bintang, kenangan juga penyesalan bercampur menjadi satu, turut juga kamu yang sesekali hinggap di fikiranku, tapi nyatanya sesegeralah ku tepis tentang kamu, agar tak memperparah keadaan waktu itu.
Malam itu, seolah semua menjadi hal baru, yang kedepannya akan menumbuhkan rindu, bukan kepada kamu, tapi kepada wanita itu, wanita yang selalu faham akan perasaanku.
Dan semarang, sesegeralah bawa aku pulang.

Setengah dari hidupku.

Paras wajahnya memang sudah tak asing lagi. Kedua mata bulatnya, hidung mancungnya, juga kacamata yang menggantung diantara tulang hidungnya. Tulang wajahnya yang tirus, selalu membuatku ingat kata katanya. Dia lelaki yang sempurna bagiku, meski semuanya tau masih banyak kekurangan yang terlihat darinya. Tutur katanya selalu terasa lembut, sikapnya menawan hati, membuat diriku tak ingin membantah semua perkataannya. Meski seringkali aku malah asyik sendiri. 

Iya, asyik dengan duniaku sendiri.

Dia selalu ada dalam hidupku, tak sekalipun aku tak ingat dengannya. Dia adalah lelaki yang selalu membuat pelangi di hidupku. Mewarnai segala ke abu abuanku. Mendampingiku mewarnai kertas putih di halaman selanjutnya. Lelaki berpostur kurus tinggi ini selalu mengajarkanku arti sebuah setia, cinta, juga kesederhanaan. Lebih dari itu masih banyak lagi yang dia ajarkan, hingga tak pernah bisa kujelaskan. 
Lelaki ini selalu memberi senyum di hidupku, meski terkadang aku membuatnya bersedih karena kekanak kanakanku. Dia sempurna.
 
Hingga saat itu tiba, Tuhan lebih memilih memisahkan aku dan dia. Tuhan lebih memilih aku jauh dari dia. Hingga timbul rasa sakit yang berkecamuk dalam hati. Rasa kehilangan yang mendalam. Kau tau? Itu sungguh menyakitkan. Tuhan tau betapa aku sayang, tapi tuhan malah memisahkan. Kau tau? Sejak saat itu aku harus melawan segala emosi yang bergejolak dalam hati. Menerima segala kenyataan bahwa kini sosoknya sudah tak terlihat lagi. Tapi, sejak saat itu pula aku sadar, hidup masih harus terus berjalan, tanpanya atau dengannya. Walau pada akhirnya aku harus memilih mewarnai kertas putih itu sendiri, mewarnai segala abu abu itu sendiri, juga melangkah sendiri meski awalnya tertatih.

Bukan tulang rusukku, tapi setengah dari hidupku. Ayah :)
Bahagia bersamamu itu sederhana, bertemu denganmu sesekali, meski dalam mimpi.

Menulis masa lalu #4

Semuanya masih sama, aku terlalu malu untuk mengatakan semuanya. Malah parahnya aku jadi bisu. Bisu tentang hal itu. Aku hanya kembali diam, tak mengatakan apapun. Dan sejak saat itu kami hanya sekedar duduk bersebelahan yang seperti orang asing. Masih mending orang asing, bisa bertutur sapa untuk sekedar kenalan, kita? sama sama seperti orang angkuh yang enggan untuk menyapa, padahal sekarang ini dalam hati ingin sekali mengatakan hal yang sama. Lebih dari itu, aku harus melawan rasa bahagiaku sendiri. Sebuah keadaan yang sebenarnya sederhana, tapi terlalu susah untuk aku mengerti. Meluapkannya pun tak mudah, dan lagi lagi egoismeku yang menang kali ini.

Hatiku berkecamuk, bukan tanpa alasan aku memilih diam, bukan tanpa alasan aku memilih untuk memendam, juga bukan tanpa alasan aku tak mengungkapkan. Wallpaper HP yang ia pegang adalah satu-satunya alasan kuat untuk aku menyembunyikan semua yang aku rasakan. Sebenarnya, aku hanya takut salah faham, meskipun rasa kita sama, tapi wanita yang di layar handphone nya itu siapa?

Dan beberapa jam dari dia mengatakan semuanya, aku memutuskan untuk menanyakan siapa wanita itu.

   "Bukannya yang di wallpaper hp lo itu cewek lo?". Ada perasaan yang mencekat ketika aku menanyakan ini padanya.
   "Hmm".
   "Terus? Kok lo gitu ke gue?".
   "Dia itu cinta pertama gue. Gue juga gaktau kenapa dia sebego itu, nggak nyadar kalo gue beneran banget sayang sama dia, malah nuduh gue pasang foto cewek lain di hp gue, persis kayak lo sekarang nih, tapi lucu banget ngeliat dia polos kayak gitu"
   "Hmm, jadi itu cewek lo?"
   "Bukan, gue udah ngungkapin semua rasa gue ke dia, tapi gue juga belom dapet jawaban darinya, padahal gue yakin dia juga punya rasa yang sama dengan gue"
   "Kok gitu?"
   "Gue juga gaktau. Lo mau liat gak muka cewek di hp gue, yakin deh, lo tadi ngeliatnya cuman samar-samar doang kan?"
    "Ehm. Boleh". Bibirku serasa bergetar, memberanikan diri untuk terima bahwa aku? aku bukan apa apanya, meski dia mengatakan seperti itu tadinya.
    "Nih, coba lo liat".

Aku mengambil handphone nya, melihat bahwa yang di layar handphone nya itu?

   "Kok?" sebelum aku melanjutkan perkataanku, dia sudah memutusnya terlebih dahulu.
   "Iya itu lo tar, gue udah jelasin kan ke lo, setelah pertemuan itu gue berharap kita lebih dari sekedar kenal biasa, gue berharap lo bisa jadi orang yang mau ngejalanin semuanya bareng bareng sama gue. Gue sengaja naruh foto lo di wallpaper hp gue, sengaja biar gue inget lo terus. Alay emang kedengarannya, tapi itu yang ngebuat gue yakin kalo lo juga punya rasa yang sama dengan gue".

Kali ini egoisku yang kalah, aku meleleh dengan perasaanku sendiri, bercampur jadi satu. Kuletakkan kepalaku di pundaknya, bukan tanpa sengaja, tapi aku memang sengaja, berharap dia mengerti bahwa ini adalah sebuah tanda, tanda bahwa aku meng-iya-kan tawarannya untuk menemaninya berjalan bersama, yang dalam artian adalah aku memilih untuk bersama dengannya.
Dengan kepala yang masih bersandar di kepalanya, juga dengan tawa kecil saat itu, aku mengungkapkan semuanya.
    "Lucu ya, selama ini gue ternyata memendam rasa yang sama, yang gue sendiri gak pernah kefikiran kalo gue bakal ketemu lo disini, gue bener bener gak ngerti sama semua ini."
    "Yang lucu itu lo sama kepolosan lo. Jelas jelas itu wallpaper foto lo, masih aja tanya."
    "Yakan gue juga gak jelas ngeliatnya. Bego ya gue, daritadi diem dan gak berani ngungkapin semua."
    "Ya itulah lo, yang gak pernah berani ngomong dan selalu keliatan polos. Tapi gue sayang kok sama lo."
    "Gue cinta sama lo."

Geli rasanya ketika bilang cinta, tapi setidaknya aku lega, semua yang terpendam sekarang tumpah. Ada usapan rambut yang kubalas dengan lingkaran tangan di pinggang. Ada senyum juga tawa kecil yang melintas di bibir kita. Rasanya semuanya tak bisa dimengerti. Sisa perjalanan kala itu kita habiskan berdua, bukan dengan cara berdiam diri, juga bukan lagi dengan duduk berdua seperti orang asing yang tak pernah kenal, tapi dengan percakapan juga sesekali pelukan hangat. Walau masih terlintas pertanyaan, tentang cinta pertama, tentang kebetulan, juga tentang takdir pertemuan. 

Menulis masa lalu #3

Pertanyaan itu masih ada, masih sama sejak tadi. Lidahku juga masih terlalu keluh untuk mengatakan pertanyaan itu. Hatiku kali ini menang, dia menang untuk yang kesekian kalinya dari logikaku, dan pada akhirnya sampai sejauh ini aku masih saja terdiam. Diam untuk yang kesekian kalinya. Walau pada nyatanya logikaku lebih kuat menyatakan bahwa dia adalah alex yang dulu, yang pernah ku kenal walau sesingkat tatapan mata.
Sudah berjam jam kami bersama, dengan rongga dada yang masih saja menyesak daritadi, juga dengan sikap yang masih saja kaku. Berkali kali diriku mencoba mejelaskan bahwa semuanya sama seperti dulu, hanya saja tak ada kacamata yang menggantung diantara tulang hidungnya. Iya, alex yang dulu tak berkacamata. Aneh ya rasanya? kita baru saja tak bertemu satu tahun yang lalu, tapi rasanya seperti asing bagiku. Bukan, bukan asing, tapi lebih tepatnya aku takut terlihat asing dimatanya, takut ketika menyapanya nanti ternyata dia tak mengingatku. Sudahlah, mungkin memang bukan saatnya.

  "Lo mau ke jogja juga?" Kembali lagi, segelintir pertanyaannya membuyarkan fikiranku. Tapi aku fikir ini lebih baik daripada kita saling berdiam diri.
  "Iya, gue mau kerumah nenek disana. Ehm, ke tempat gue lahir alias lagi pulang kampung aja. Nah lo juga mau ke jogja?".
  "Iya, gue juga ke jogja, balik ke rumah mumpung belum masuk kuliah."

Bodoh ya rasanya? menanyakan pertanyaan yang sebenarnya kita udah tau jawabannya. Kita satu bus, mana mungkin beda tujuan? Yasudahlah.

  "Oh jadi lo asli jogja?" sambungku bertanya.
  "Iya, dulu SMA di jogja, terus lulus gue pindah ke jakarta. Milih kuliah disana, dan mumpung kuliah juga belum masuk jadi ya mending gue balik ke jogja dulu aja."

Jika diingat lagi, satu tahun yang lalu memang baru saja kenaikan kelas, aku memilih pindah mengikuti orang tuaku di jakarta, meninggalkan semua yang di jogja. Dan setahun kemudian harusnya memang kita sama sama kuliah. Jadi?

  "Oh gitu?" Aku berusaha tenang, menutupi semua kekacauan yang aku sendiri tak mengerti bagaimana cara menutupinya.
  "Kenapa lo lebih milih jakarta? kenapa gak di jogja? Banyak kan universitas disana yang bagus?"
  "Gue juga gak tau, gue pengen di jakarta, disana ada yang gue cari."
  "Cari? emang kalau boleh tau lo nyari apa?". tanyaku heran.
  "Nyari orang yang pernah bikin gue keluh, orang yang udah ngabisin oksigen di hidup gue, sehingga gue susah nafas karena rasa yang gak pernah gue mengerti"
  "Haha, lebay lo. Intinya lo jatuh cinta kan?"
  "Iya, gue jatuh hati sama gadis yang gue temuin satu tahun lalu, yang waktu itu dia lagi mau jatuh trus gue pegangin dari belakang. Lucu ya? serasa di FTV aja gue haha"

Tunggu? Jadi? itu kan? itu kan kejadian satu tahun yang lalu. Persis dengan setahun yang lalu.

  "Dan gadis itu lo tar, lo yang ngebikin gue jadi kayak gini. Lo yang bikin gue gak karuan selama ini. Gue juga gak tau apa yang udah terjadi selama ini, padahal gue juga sadar sesingkat itu pertemuan kita, hingga akhirnya lo mutusin buat pergi, pindah dari tatapan mata gue."
  "Alex? setahun yang lalu?"
  "Hmm"

Semakin keluh, semakin terasa keluh ketika semua pertanyaanku terjawab. Semakin terasa kacau dalam hati, padahal harusnya aku berbahagia diri mendengar apa yang baru saja kudengar. Harusnya aku membalasnya dengan mengatakan semuanya, bahwa semua yang kurasakan itu sama, sama dengan apa yang dia rasakan selama ini. Tapi nyatanya, aku kalah dengan egoismeku lagi, yang ternyata masih saja tak punya nyali untuk mengatakan bahwa aku juga mencintainya.